Menghadapi Suami Yang Suka Marah Marah
Tunggu sampai suami tenang
Saat pertengkaran sedang terjadi dan suami mulai emosi, jangan biarkan Mama ikut terbawa emosi. Berikan waktu dan jeda untuk suami menyampaikan amarahnya.
Tubuh memiliki sistem metabolisme sendiri, termasuk saat mengendalikan emosi. Biasanya dibutuhkan waktu sekitar 15-20 menit bagi tubuh agar efek adrenalinnya bisa mereda.
Nah, setelah itu biasanya emosi akan mulai mereda dan tak lagi meletup-letup, Ma. Inilah waktu yang tepat bagi Mama untuk angkat bicara dan berupaya menenangkan suami.
Apabila Mama ikut emosi dan marah-marah saat adrenalin suami masih tinggi, bukan tidak mungkin hal ini justru membuatnya akan menjadi semakin emosi. Pertengkaran pun tak kunjung akan menemukan solusinya.
Tahu kapan harus mencari bantuan
Meski ada baiknya Mama bersikap tenang, namun Mama tetap harus tahu kapan waktunya mencari bantuan. Dalam hal ini, bisa saja bantuan dari anggota keluarga lain, maupun bantuan dari tenaga profesional.
Jika sikap emosi yang ditunjukkan Papa sudah membuat Mama tidak bahagia, kaji ulang situasi yang ada dan pikirkan apakah Mama memerlukan bantuan atau masukan dari orang lain.
JIka Papa tak bisa kunjung mengendalikan emosi, mungkin juga ia memerlukan bantuan dari psikiater untuk membantunya. Ingat, saat ada banyak kemarahan di rumah, semua orang di dalamnya akan turut merasakan, lho. Mulai dari Papa, Mama, dan bahkan anak-anak.
Bersabar dan tunjukkan kasih sayang
Di bawah amarah biasanya terletak emosi yang lebih dalam dan lebih rentan seperti ketakutan, kesedihan, atau rasa sakit, yang mungkin kurang dapat diakses oleh suami.
Untuk waktu yang singkat, kemarahan pun dimanfaatkan sebagai perisai pelindung dan membuatnya merasa kuat serta mengendalikan segala sesuatu. Namun seringkali dalma jangka panjang situasi ini juga menyakitkan bagi para suami.
Inilah sebabnya mengapa penting juga bagi Mama untuk tetap bersabar dan coba mendengarkan apa penyebab rasa emosi itu ada.
Kesabaran dapat berfungsi sebagai penangkal kemarahan di dalam diri Mama dan juga Papa. Salah satu wujud dari sikap sabar adalah dengan menunggu, tidak berbicara atau melakukan apa pun yang mungkin bisa reaktif atau menyulut emosi Papa.
Jangan Pernah Takut untuk Pergi
Perempuan sering kali takut meninggalkan pertengkaran yang memanas karena tahu betul bahwa itu mungkin berakhir dengan kekerasan fisik. Meskipun terbukti bahwa kamu menghargai pasangan, kamu harus lebih memperhatikan keselamatan diri sendiri dan pergi tepat waktu sebelum pertengkaran itu berujung pada perkelahian.
Jika kamu telah menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga atau kekerasan seksual dalam pernikahan, maka kamu harus menghubungi pihak berwenang setempat untuk meminta bantuan. Jangan pernah takut berjalan menjauh dari situasi yang buruk, karena kamu dapat membangun kembali hidup menjadi lebih bahagia.
Follow Popmama untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Dalam setiap hubungan rumah tangga, pertengkaran pasti akan ada, Ma. Namun yang terpenting adalah menjaga agar pertengkaran yang ada tidak merusak kualitas hubungan antara suami dan istri.
Terlebih jika suami memiliki temperamen tinggi dan mudah marah, jika Mama tidak bisa bersikap tenang, situasi ini justru bisa membuat pertengkaran menjadi besar.
Oleh sebab itu, Mama perlu memiliki tips jitu untuk menghadapi suami yang mudah marah dan emosi. Apa saja, ya? Berikut Popmama.com berikan tahapan cara-cara menghadapinya:
Jangan ragu meminta maaf
Jika memang Mama tahu penyebab kemarahan dari Papa adalah sikap atau ucapan Mama, jangan ragu untuk meminta maaf terlebih dahulu.
Tidak ada yang bisa meluluhkan emosi selain ucapan maaf yang tulus, Ma. Ingat, sampaikan kata maaf dengan tulus dan terutama saat Mama benar-benar merasa bersalah.
Hindari mengelak dari kesalahan dan justru terus menyalahkan suami. Hal ini justru bisa menyulut emosi dan memperburuk keadaan. Selamat mencoba, Ma!
Terjadi kesalahan. Tunggu sebentar dan coba lagi.
Stereotipe yang berkembang di masyarakat menyebut makin tua seseorang makin galak dan sinis pula tabiatnya. Apakah secara sains hal ini benar?
Stigma galak yang melekat pada orang tua mungkin seringkali secara kebetulan terafirmasi oleh kejadian di sekitar kita.
Hal itu ditambah dengan cerita orang sekitar yang memiliki pengalaman sama membuat stereotipe tersebut semakin melekat. Stigma ini seperti gulungan bola salju yang semakin besar oleh pengalaman-pengalaman serupa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebuah studi di Swiss oleh para peneliti Jerman, Harm-Peer Zimmermann dan Heinrich Grebe, mengungkap sebaliknya.
Para peneliti mengidentifikasi dua periode usia dengan kondisi lansia yang digambarkan dengan cara yang sangat berbeda. Yang pertama adalah dari usia 65 hingga 80 tahun yang digambarkan cenderung positif; peluang untuk realisasi diri yang lebih besar setelah pensiun.
Kedua, lansia di atas 80 tahun, yang pesimistis, kemunduran fisik dan mental yang cepat, demensia, hilangnya identitas dan martabat.
Dari sejumlah responden, peneliti menemukan semacam "kesejukan senior" (senior coolness) sebagai bentuk kemampuan untuk tetap tenang dalam kondisi terbatas di masa tua. Misalnya, tidak marah tentang kehilangan dan keterbatasan, dan memandang semuanya dengan bumbu humor.
Para peneliti juga menggambarkan ini sebagai upaya mereka untuk "tidak membiarkan diri sendiri terlempar dari langkahnya akibat kesengsaraan usia tua."
Menariknya, contoh kesejukan senior tampaknya tidak terkait dengan keadaan kehidupan tertentu. Contoh ini ditemukan pada wanita dan pria, individu berpenghasilan tinggi dan rendah, individu yang difabel dan tidak difabel, dan mereka yang tinggal di permukiman atau pun panti jompo.
Kepribadian orang-orang usia tua ini cenderung matang karena neurotisisme manusia menurun dan keramahannya meningkat.
Meski demikian, sebuah penelitian lain dari ilmuwan Denmark-Amerika Serikat (AS) Erik Erikson menyebut mereka yang berusia lebih dari 65 tahun memiliki perang psikologis antara integritas dan rasa putus asa.
Dia menyebut usia senja adalah tahap terakhir dari teori delapan tahap perkembangan hidup yang dikemukakannya.
Dilansir dari ScienceFocus, Erikson menjelaskan bahwa orang tua memandang hidup mereka dengan kekecewaan dan penyesalan, maka keputusasaan akan menang, sehingga memicu kepahitan dan membuatnya menjadi sosok yang galak serta pemarah.
Sebaliknya, orang tua yang menyadari bahwa mereka melakukan yang terbaik yang mereka bisa dan melihat hidup mereka dengan penerimaan dan penuh makna, maka mereka menghindari kepahitan dan malah menikmati perasaan kebijaksanaan.
SERAMBINEWS.COM - Dalam kehidupan berumah tangga, tidak selamanya berjalan harmonis dan mulus tanpa adanya cobaan.
Pastilah ada masalah yang menghampiri sebuah rumah tangga, baik dari masalah komunikasi yang tidak baik antara suami dan istri hingga masalah dalam anggota keluarga itu sendiri.
Masalah dalam anggota keluarga misalnya, istri tidak tahan terhadap sikap suami yang suka marah dan tempramental.
Pria dengan temperamen tinggi biasanya akan bereaksi secara berlebihan terhadap situasi ketika dia sedang marah.
Tidak hanya sekali atau dua kali, ada seorang suami yang sering marah-marah hingga istrinya tidak betah lagi tinggal di rumah bahkan ada yang langsung memutuskan untuk bercerai.
Lantas, bagaimana sikap istri menghadapi suami yang suka marah dan tempramental, haruskah istri minta cerai?
Baca juga: Dianggap Sepele! dr Aisyah Dahlan Ungkap Dua Hal Ini Bisa Buat Suami Marah dan Benci pada Istri
Baca juga: 3 Tips Berbicara dengan Orang Tua Menurut Buya Yahya, Harus Perlihatkan Wajah Ceria dan Senang
Baca juga: Menurut Penelitian, Suami Senang Jika Istrinya Minta Uang, dr Aisyah Dahlan: Tapi Mintanya Manja Ya!
Sikap istri dalam menyikapi suami yang suka marah-marah dan memiliki sikap tempramental, Buya menyarankan agar istri tersebut mengoreksi diri terlebih dahulu.
Sebab katanya, bisa saja seorang suami marah atau nekat berbuat dzalim kepada istri karena ketelodoran istri dalam melaksanakan kewajiban kepada suami, atau seorang istri melakukan sesuatu kesalahan yang tidak ia rasa namun amat menyakitkan suami.
"Jika demikian adanya, maka seorang istrilah yang perlu berbenah diri terlebih dahulu sebelum menuntut sang suami berbenah," kata Buya seperti dikutip Serambinews.com dari laman resmi tanya jawab Buya Yahya, Senin (3/1/2022).
Lanjut Buya, cara tersebut merupakan cara pertama yang dapat menyelesaikan masalah dalam berumah tangga antara suami dan istri, namun sering kali dilupakan.
Jika ternyata memang sifat dan perilaku suami adalah dzalim dengan marah tanpa sebab serta melampiaskanya amarah tersebut dengan cara dzalim seperti memukul atau mencaci maki yang menyakitkan, hal yang demikian tentu amat mengganggu keindahan dalam berumah tangga, kata Buya menambahkan.
Jika sikap suami seperti itu, maka seorang istri mempunyai dua pilihan.
Baca juga: 4 Cara Ikhlas Memaafkan Suami yang Selingkuh Menurut dr Aisyah Dahlan Ungkap, Istri Wajib Tahu
Baca juga: Cara Menghadapi Suami yang Selingkuh, Buya Yahya Anjurkan Istri Lakukan Hal Ini untuk Kebaikan
Baca juga: Istri Wajib Tahu! dr Aisyah Dahlan Ungkap Cara Memaafkan Suami yang Telah Berkhianat dan Berbohong
Petama, istri harus bersabar dan berusaha untuk merubahnya dan sungguh ini adalah suatu kemuliaan yang agung.
Kedua sambung Buya, jika memang istri tidak mampu untuk bersabar maka ia bisa minta cerai karena seseorang tidak boleh dipaksa untuk bertahan di bawah kedzaliman.
Sebab salah satu sebab diperkenankannya seorang istri meminta cerai adalah jika ia benar-benar didzalimi suami.
"Wallahu a’lam bish-shawab," pungkas Buya Yahya. (Serambinews.com/Firdha Ustin)
Baca juga berita lainnya
Baca juga: Diperiksa Polda Jabar, Pesan Habib Bahar jika Ditahan, Minta Umat Tetap Berjuang Sampaikan Kebenaran
Baca juga: Suami Bacok Istri saat Berhubungan Badan dengan Sepupu, Si Pria Lompat Lewat Jendela Tanpa Busana
Baca juga: Setahun Lebih Kosong, Jabatan Kepala Bappeda Pidie Dipastikan Segera Diisi
Kadang dilema terbesar dalam urusan cinta bukan orang ketiga--wanita lain yang baya dengan Anda, tetapi wanita yang paling dihormati pacar Anda, yaitu ibunya.
Boleh jadi pacar Anda penyayang, sabar, pengertian dan mencintai Anda sepenuh hati. Tapi bagaimana dengan ibunya? Ada banyak sahabat kami yang mengatakan bahwa calon mama mertuanya masuk kategori galak dan bahkan suka marah.
Kalau sudah begini, Anda tetap harus berjuang. Buat calon ibu mertua Anda merasa nyaman di samping Anda. Inilah tips yang dibagikan beberapa sahabat kami.
Banyak calon mama mertua yang langsung menilai negatif seorang gadis karena pakaiannya. Para ibu lebih menyukai wanita muda yang bisa menunjukkan dirinya dari pakaian. Bagaimana camer bisa menyukai Anda jika saat datang ke rumah, pakaian Anda berantakan, terlalu mini dan ketat, bahkan berbelahan dada rendah. Cobalah memakai pakaian yang lebih sopan, yang membuat mereka nyaman melihat Anda.
Berhadapan dengan orang jelas berbeda dengan menghadapi teman sebaya. Ingat, kita masih di Indonesia. Para orang tua akan menilai generasi muda dari kesopanan dan sikapnya. Hindari berteriak-teriak, bicara tidak sopan atau mengucapkan kata-kata yang tidak sepatutnya diucapkan di depan orang tua, terlebih lagi orang tua pacar Anda. Bicarakan hal-hal yang menyenangkan dan positif, buat diri Anda sopan dan ramah.
Kami tahu, Anda pasti gugup menghadapi calon mertua. Tarik napas dan tetap kembangkan senyum manis di bibir Anda. Senyum adalah gambaran bahwa Anda adalah wanita yang bahagia dan menyenangkan.
Sekali waktu, berikan pujian pada ibu mertua, misal "Tante masak sendiri ya? Enak lho tante, kapan-kapan saya minta resepnya ya?" atau "Ini foto tante waktu masih muda? Cantik.." Tapi jangan terlalu sering, karena Anda harus tulus mengucapkan pujian-pujian itu.
Itulah beberapa tips dari Vemale.com. Anda punya tips lainnya?
Seri Tanya Jawab Enlightening Parenting
Nara Sumber : Sutedja Eddy Saputra dan Okina Fitriani
Punya suami yang suka marah dan memukul anak? Bagaimana menyikapi dan apa yang harus dilakukan untuk mengatasi hal yang demikian?
Mari simak poin-poin yang dirangkum dari sesi tanya jawab materi PERAN AYAH dalam Training Enlightening Parenting di Surabaya 7-8 April 2018, bersama nara sumber Sutedja Eddy Saputra dan Okina Fitriani.
Tanya : Suami saya dididik dengan keras oleh orangtuanya dengan hukuman fisik . Salah satunya, pernah kepalanya dibenturkan ke tembok oleh orangtuanya. Ketika menikah, kami sering mengalami perbedaan pendapat dalam hal cara mendidik anak. Suami saya bersikeras bahwa anak harus dikerasi. Saat dia marah dan melakukan hukuman fisik pada anak, saya langsung meng-interupsi, karena saya tak tega pada anak. “Jangan, jangan di pukul!” Begitu saya katakan pada suami. Padahal saya tahu, tidak boleh berbeda pendapat di hadapan anak. Saya sudah memberi tahu suami, tetapi di lain waktu masih saja suami berkeras harus mendisiplinkan anak dengan hukuman fisik. Bagaimana cara mengatasi hal ini ?
Jawab (Sutedja Eddy Saputra ) : Ini masalahnya sangat simple sebenarnya. Seharusnya suami ikut belajar parenting di ruangan ini hari ini. Kalau dia tidak mau belajar, maka tugas istri melakukan persuasi agar suami mau. Memang banyak usaha yang harus dilakukan istri. Ini kasusnya mirip dengan pengalaman saya dulu. Istri saya butuh waktu 2 tahun melakukan upaya persuasi sampai akhirnya saya bersedia belajar parenting, lalu menyadari kesalahan saya.
Selain itu, hal ini terjadi karena belum punya visi misi keluarga yang dibuat dan disepakati bersama. Sama persis dengan pengalaman saya dulu. Saya belum belajar parenting, tidak punya visi misi keluarga, sehingga saya maunya mendidik anak dengan cara saya yang keras, sementara istri sudah tahu bagaimana cara mendidik anak dengan benar.
Kalau sudah ada visi-misi keluarga, artinya sudah ada aturan bagaimana ayah memainkan perannya , bagaimana ibu menjalankan perannya. Apa saja kesepakatan yang harus dijalankan dalam pengasuhan anak.
Lalu, karena istri yang sudah belajar parenting lebih dulu, maka istri harus memberi contoh untuk berubah. “Ini lho contoh mendidik anak dengan cara yang lebih baik. “
Apa bedanya mendidik dengan dan tanpa kekerasan?
Dulu ketika saya mendidik anak dengan keras, anak itu melakukan perlawanan. Mereka tidak langsung nurut. Saya harus marah dulu, harus memukul dulu, baru mereka melakukan apa yang saya inginkan. Tapi ketika saya tidak ada, maka pelanggaran kembali terjadi. Intinya, mereka hanya takut pada saya, bukan taat pada aturan.
Sebaliknya, ketika anak dididik dengan kasih sayang, ketika orangtua dan anak membuat objektif bersama-sama, ternyata mereka bisa jauh lebih berkomitmen. Sehingga mendidik anak menjadi lebih mudah. Mendisiplinkan anak ternyata tidak harus dengan cara kekerasan.
Mbak Okina dan suaminya, Mas Ronny, sangat berhati-hati dalam memilih kata sehingga sangat jarang berkata keras pada anak. Tapi saya lihat sendiri bagaimana hasilnya, karena saya pernah beberapa kali berkesempatan bersama keluarga mereka. Diingatkan dengan kata-kata lemah lembut saja, anaknya sudah mengerti.
Beberapa waktu lalu saat di sebuah sharing session, ada seorang ibu yang bertanya. Anaknya yang masih di usia SD, memukuli teman-temannya. Ternyata, ayah sang anak adalah seorang t*****a yang mendidik anaknya dengan kekerasan, dengan maksud supaya anaknya disiplin. Padahal, sang ayah menerima pendidikan disiplin yang keras itu setelah menjadi t*****a di usia yang sekurang-kurangnya 18 tahun, usia di mana dia sudah siap menerima kedisiplinan dalam pendidikan yang keras seperti itu. Sedangkan anaknya kan masih jauh dibawah itu . Tidak bisa disamakan, mendidik anak-anak usia 7-8 tahun dengan mendidik t*****a yang usianya sudah 18 tahun. Inilah pentingnya orangtua paham ilmu parenting sehingga bisa mendidik anak dengan benar.
Jawab (Okina Fitriani) : Saya tambahkan sedikit ya. Sebenarnya suami yang suka memukul, suami yang perkataan atau ucapannya jelek, bicaranya bad word, itu karena tangki cintanya kosong. Maka tugas siapa mengisi tangki cinta sang suami? Apa sang istri mesti bilang begini,
“Sana! Balik ke orangtuamu sana! Aku nggak mau dekat-dekat kamu! Karena kamu suka memukul anakku!”
Mungkin wajar jika kamu ingin menyampaikan kesedihan kepada ibu mertua atau mungkin ipar perempuan. Namun, mungkin saja mereka belum pernah menyaksikan sisi suamimu yang seperti itu. Oleh karena itu, penilaian mereka mungkin kabur dan dalam kasus terburuk, mereka mungkin menolak untuk mempercayaimu ketika kamu berbicara tentang masalah kemarahan suamimu. Oleh karena itu, kamu harus memiliki sistem pendukung dari teman atau kerabatmu sendiri di luar nikah yang dapat kamu percayai.
Dengarkan keluhan suami
Tanpa disadari, emosi seseorang bisa memuncak saat ada penumpukan rasa kecewa. Misalnya karena merasa tidak didengar, tidak dianggap serius, atau tidak dihargai. Nah, bisa jadi saat emosi Papa sedang merasa kecewa dan diabaikan.
Untuk menghindari kemarahan suami, ada baiknya Mama secara aktif mendengarkan dan meyakinkan Papa bahwa ia didengar dan dipahami. Pahami kebutuhan terdalam Papa, dan dengarkan keluhannya.
Ini adalah salah satu cara berkomunikasi yang baik dan mempertimbangkan perspektif dari pasangan.
Hindari ikut marah saat bertengkar
Jika sejak awal Mama memang sudah memahami bahwa Papa punya sifat yang mudah marah dan emosi saat bertengkar, maka ada baiknya untuk mengalah sesaat. Tidak bijaksana jika Mama justru ikut marah dan menanggapi sikap suami dengan emosi.
Jika Mama menghadapi serangan verbal dengan tetap rileks dan tenang, suami kemungkinan akan malu dengan perilakunya, merenung untuk memperbaikinya, dan lebih menghargai Mama.
Sebaliknya, jika Mama justru ikut berapi-api dan tidak mampu bersikap tenang, pertengkaran justru akan terjadi semakin besar. Bukan tidak mungkin juga Mama akan menjadi pelampiasan emosi Papa yang sedang menggebu-gebu.
Hargai dan hindari menyalahkannya
Salah satu penyebab mengapa suami sering emosi saat bertengkar adalah perasaan tidak dihargai. Termasuk dalam urusan pekerjaannya.
Cobalah untuk mencari tahu apakah ia sedang memiliki masalah di kantor. Ya, mungkin sebagian besar dari kemarahan suami muncul dari rasa kurangnya kontrol dalam pekerjaannya.
Misalnya kemudian di waktu yang bersamaan Mama sedang mengeluh tentang gajinya yang tidak cukup untuk kebutuhan hidup, maka bisa jadi hal ini akan memicu amarahnya.
Rasa bersalah juga akan memperdalam frustrasinya, sehingga Papa mudah lebih mudah terpancing emosi dan mudah marah. Jadi, cobalah melihat situasi saat berbicara tentang keuangan, perhatikan apakah sedang ada masalah yang dimiliki oleh Papa di tempat kerja.